Kisah Ihya Ulumudin, Guru PAI Kenalkan Islam Moderat ke Dunia Barat hingga Bertemu Megawati

Kisah Ihya Ulumudin, Guru PAI Kenalkan Islam Moderat ke Dunia Barat hingga Bertemu Megawati

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)

Jakarta (Kemenag) — Namanya Ihya Ulumuddin, Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) di SMAN 1 Purwakarta. Selain sibuk mengajar, aktivitas dan panggilan jiwa selaku dai juga tidak bisa dibendung.

Sebagai GPAI di SMAN 1 Purwakarta, Ihya Ulumudin adalah juga sosok dai muda yang memilih jalan yang pada kelanjutannya menjadi ciri dan pembeda sebagai dai; ia memilih jalan dialog lintas budaya. Jalan dialog dan lintas budaya ini ditempuh dan diraihnya tidak instan. Tidak ada cerita yang menegaskan langkahnya sebagai dai dengan pengalaman melanglang buana untuk berdakwah dicapai dengan mudah.

Ia, misalnya, banyak bertukar pikiran dan menjalin hubungan dengan berbagai komunitas dai di Indonesia untuk meluaskan jaringan selain memperkuat unsur bahasa. Selain itu, kemampuan Bahasa Inggris menjadi bagian penting dalam karir dakwahnya karena pengalaman dan forum yang diikutinya banyak mengharuskan penguasaan Bahasa Inggris dengan baik. Di tengah posisinya sebagai GPAI, tentu saja aktivitas tersebut cukup menyita waktunya.

Lahir dan besar di Subang, Jawa Barat, pada 7 Januari 1988, Ustaz Ihya—sapaan akrabnya—bukanlah tokoh yang lahir dari keluarga ulama besar. Ia tumbuh di lingkungan sederhana, di mana nilai-nilai Islam moderat ditanamkan sejak dini melalui pendidikan pesantren lokal. Kini, ia telah menjadi duta dakwah yang aktif, tidak hanya di tanah air, tapi juga melintasi benua. Ihya membawa pesan Islam moderat ke komunitas muslim Barat dan berbagai forum internasional.

Perjalanan Ihya Ulumudin dimulai dari bawah. Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya di STAI Al Miftahul Huda, Subang pada 2010, ia melanjutkan studinya di S2 Universitas Indraprasta PGRI Jakarta. Dalam kurun itu dan setelahnya, pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) ini terjun ke dunia dakwah melalui berbagai majelis taklim di Jawa Barat.

“Saya belajar bahwa dakwah bukan soal ceramah yang megah dengan kalimat yang wah, tapi saya berusaha agar membuat Islam beserta nilai yang dikandungnya relevan di hati orang,” ujarnya, yang merupakan pengurus Federasi Wing Chun Indonesia ini, dalam sebuah perbincangan hangat di Jakarta.

Pengalaman Dakwah Luar Negeri

Pengalaman awalnya di Purwakarta membentuk tekad dan keinginannya lebih jauh. Ia mendirikan komunitas belajar yang menekankan toleransi dan dialog. Dengan komunitas ini, ia membuat wadah di mana pemuda dari berbagai latar belakang belajar bersama tentang fiqih sehari-hari. Namun demikian, panggilan yang lebih besar datang ketika ia diundang untuk berdakwah di luar negeri, khususnya Eropa, Amerika Serikat, Australia, hingga Asia (Timur Tengah dan Asia Timur).

Salah satu tonggak penting dalam karier dakwahnya adalah upaya mempromosikan Islam yang damai dan moderat di kalangan muslim Barat. Pada 2023, Ihya menjadi pembicara utama di sebuah konferensi di Glasgow, Skotlandia. Di forum inilah, Ihya berkesempatan melakukan dialog dengan berbagai pihak, bahkan dengan aparat kepolisian setempat.

“Yang saya tangkap, terdapat anggapan tentang adanya radikalisme dan ekstremisme pada diri mereka. Di kesempatan itu, saya berkesempatan menjelaskan bahwa Islam dan nilai yang dikandungnya sejatinya adalah rahmat bagi semesta raya, Ekstremisme dan radikalisme tidak relevan karenanya,” terangnya.

Dialog itu tidak selesai begitu saja. Ia melanjutkannya dengan sesi interfaith di Parlemen Inggris, Skotlandia, dan Wales. Di sana, ia bertemu dengan tokoh lintas agama, dari pendeta Kristen hingga rabi Yahudi, membahas isu bersama seperti perdamaian global dan hak asasi manusia. “Bukan soal membuktikan siapa yang benar, tapi membangun jembatan dialog antariman,” tegas Ihya, meresonansi prinsip dakwah Nabi Muhammad SAW yang penuh hikmah, kelembutan, dan kedamaian.

Dapat dikatakan, puncak pengalaman internasionalnya adalah rangkaian dialog di Amerika Serikat melalui Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL), sebuah organisasi nirlaba (NGO) yang fokus pada perdamaian dunia. Di New York, Washington DC, Pennsylvania, dan Connecticut, Ihya berpartisipasi dalam forum interfaith center yang melibatkan pemuka agama dari berbagai negara.

Ia berbagi cerita tentang bagaimana Islam di Indonesia bisa menjadi model bagi dunia dengan pendekatan toleran dan inklusif. “Di Amerika, banyak muslim yang merasa terasing. Saya ajak mereka kembali ke akar, yakni Islam yang mencintai damai, inklusif, dan toleran” jelasnya. Pengalaman ini tidak hanya memperkaya dirinya, tapi juga membuka kesempatan bagi warga Indonesia lainnya untuk terlibat dalam dialog global lebih jauh.

Selain itu, Ihya juga terlibat dalam daurah ulama di Abu Dhabi pada 2025. Even yang diselenggrakan oleh Ditrektorat Jenderal Bimas Islam ini memberi kenangan berkesan pada dirinya. Dalam forum ini, ia berkesempatan mengenalkan Islam di Indonesia dengan berbagai rupa kekayaan budaya, tenggang rasa, guyub, dan nilai nilai toleran lainnya. Indonesia mengirim sejumlah dai dan daiyah dalam Program Daurah Duat di Uni Emirat Arab (UEA). Program ini tidak hanya menjadi sarana pembekalan dakwah bagi para dai Indonesia, tetapi juga membuka wawasan baru tentang peran diplomasi, penguatan identitas kebangsaan, serta eksistensi Islam Indonesia di kancah global.

Bertemu Megawati

Kini, di usia 37 tahun, Ihya Ulumudin semakin disibukkan dalam aktivitasnya. Sebagai Dai Ambassador Dompet Dhuafa, ia kembali dari Korea Selatan pada Juni 2024, di mana ia bertemu dengan atlet voli nasional Megawati Hangestri Pertiwi dari tim Red Sparks (Kini Megawati berkarir di Liga Bola Voli Putri Turkiye).

Pertemuan tak terencana sebelumnya itu menjadi penanda penting baginya bahwa pada dasarnya dakwah bisa menyatu dengan prestasi olahraga untuk memperkuat citra Indonesia di mata dunia. “Kita semua duta bangsa, entah di lapangan voli atau mimbar masjid,” ungkapnya. Megawati mengiyakan dan menanggapi positif pertemuan tak terduga tersebut. Bagi Ihya, pertemuan dengan Megawati membawa kesan positif tersendiri dalam pengalaman dakwahnya.

Di tanah air, ia rutin menggelar kajian online tentang tasawuf modern, terinspirasi dari karya Imam Al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin, sebuah kitab dengan kemiripan nama dengannya. Sebagai pegiat literasi, ia juga menulis berbagai buku terkait Pendidikan Agama Islam dan tema lainnya.

Hingga kini, menurutnya, tantangan terbesar yang harus dihadapinya adalah stereotip negatif tentang Islam pasca-konflik global. “Banyak yang melihat Islam sebagai ancaman, padahal esensinya adalah perdamaian. Tugas kita adalah membuktikannya lewat aksi, bukan kata-kata semata,” tegasnya.

Dengan ratusan pengikut di media sosial, ia terus menginspirasi generasi muda untuk terlibat dalam dialog antaragama. Di era di mana polarisasi semakin tajam, sosok seperti Ihya mengingatkan bahwa dakwah sejati adalah seni membangun, bukan merobohkan. Dakwah yang benar adalah dakwah yang menebar cinta, bukan petaka.

Di Purwakarta, kota satelit di timur Jakarta, Ihya Ulumudin tetap rendah hati, sembari tetap mengajar di SMAN 1 Purwakarta. “Saya hanyalah hamba yang belajar. Dakwah ini amanah, bukan popularitas. Amanah itulah tujuan saya,” tutupnya sambil tersenyum. Kisahnya adalah bukti bahwa dari desa kecil di Jawa Barat, seorang dai, yang juga adalah seorang Guru Pendidikan Agama Islam, bisa menyentuh dan memberi warna ke seluruh penjuru dunia.

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *